Pada era foto analog yang masih menggunakan film negatif, kemampuan
seseorang membuat foto secara kualitas dapat diukur dengan berapa banyak foto
yang “sukses” secara teknis maupun pesannya dari 1 rol film negatif
yang digunakannya. Semakin banyak semakin kelihatan kemahiran si
fotografer.
Namun sekarang, dengan mudah orang akan mengambil banyak gambar ratusan hingga ribuan, tergantung kapasitas penyimpannya, dan dengan enteng dan tanpa rasa sayang akan menghapusnya untuk gambar-gambar yang dianggap tidak bagus atau tidak ia sukai. Toh orang lain tidak tahu.
Bagi fotografer sejati, foto adalah “bahasa gambar” untuk menyampaikan pesan-pesan yang diinginkannya. Sebagai bahasa gambar, fotografer harus tahu alasan apa yang membuat dia memotret. Bagaimana usahanya agar foto yang dihasilkan mampu bercerita dan mempengaruhi orang lain.
Memotret juga harus menggunakan otak dan hati. Sebuah obyek atau suasana yang biasa-biasa saja atau monoton, di tangan seorang fotografer yang memiliki jiwa seni, hasil fotonya bisa menyampaikan pesan lebih, bahkan bisa muncul suasana lain di dalamnya yang mungkin orang kebanyakan tidak merasakannya.
Bagi seniman fotografi yang penting adalah foto itu bisa bicara dan menginspirasi. Dia tidak melihat dari jenis atau merek kamera yang digunakan karena foto tidak hanya mengandalkan teknik. Sebaliknya, kalau foto yang dihasilkan hanya sekedar merekam obyek dan suasana ala kadarnya atau hasil fotonya sama terus, berarti fotografer tersebut adalah perajin foto atau tukang foto, bukan seniman foto.
Berbagai kreasi ide bisa direalisasikan dengan tidak gagap teknik dan komposisi sebagai tata bahasa dalam berkomunikasi melalui foto. Kamera secanggih apapun tidak bisa mencari obyek sendiri. Jadi peran manusia di belakangnya lebih penting. Tidak perlu takut untuk memotret selama kita jujur dan di dalamnya ada pengalaman pribadi. Walaupun nantinya ketika ditanyakan pada orang lain pasti akan ada saja masalah di teknik pengambilan gambar. Namun yang lebih penting hasil foto bisa mengispirasi orang lain, baik itu berupa keindahan atau rasa tertentu.
Namun sekarang, dengan mudah orang akan mengambil banyak gambar ratusan hingga ribuan, tergantung kapasitas penyimpannya, dan dengan enteng dan tanpa rasa sayang akan menghapusnya untuk gambar-gambar yang dianggap tidak bagus atau tidak ia sukai. Toh orang lain tidak tahu.
Bagi fotografer sejati, foto adalah “bahasa gambar” untuk menyampaikan pesan-pesan yang diinginkannya. Sebagai bahasa gambar, fotografer harus tahu alasan apa yang membuat dia memotret. Bagaimana usahanya agar foto yang dihasilkan mampu bercerita dan mempengaruhi orang lain.
Memotret juga harus menggunakan otak dan hati. Sebuah obyek atau suasana yang biasa-biasa saja atau monoton, di tangan seorang fotografer yang memiliki jiwa seni, hasil fotonya bisa menyampaikan pesan lebih, bahkan bisa muncul suasana lain di dalamnya yang mungkin orang kebanyakan tidak merasakannya.
Bagi seniman fotografi yang penting adalah foto itu bisa bicara dan menginspirasi. Dia tidak melihat dari jenis atau merek kamera yang digunakan karena foto tidak hanya mengandalkan teknik. Sebaliknya, kalau foto yang dihasilkan hanya sekedar merekam obyek dan suasana ala kadarnya atau hasil fotonya sama terus, berarti fotografer tersebut adalah perajin foto atau tukang foto, bukan seniman foto.
Berbagai kreasi ide bisa direalisasikan dengan tidak gagap teknik dan komposisi sebagai tata bahasa dalam berkomunikasi melalui foto. Kamera secanggih apapun tidak bisa mencari obyek sendiri. Jadi peran manusia di belakangnya lebih penting. Tidak perlu takut untuk memotret selama kita jujur dan di dalamnya ada pengalaman pribadi. Walaupun nantinya ketika ditanyakan pada orang lain pasti akan ada saja masalah di teknik pengambilan gambar. Namun yang lebih penting hasil foto bisa mengispirasi orang lain, baik itu berupa keindahan atau rasa tertentu.
- Dari berbagai sumber, foto by me. -salam sederhana-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar